Marry Me?

Aku memandangi wajah lelap Nessa. Ia sangat cantik. Sangat sangat cantik. Terutama jika ia tidur sambil mengenakan kemeja kerjaku yang kebesaran di tubuhnya dan pundaknya yang telanjang menyembul di kerahnya. Menyenangkan sekali untuk diperhatikan lama-lama.

Ia bergerak pelan sebelum membuka matanya. Aku seperti melihat matahari terbit dari sana.

“Selamat pagi”, bisikku sambil mengecup keningnya.

Ia menatapku dengan mata jernihnya lalu tersenyum dan melingkarkan tangannya ke leherku. Ia mengecup lembut bibirku, aku mencuri pandang wajahnya. Ia mengecupku sambil menutup matanya, dan aku merasa bahagia karena dicintai dengan sungguh olehnya.

Ia melepaskan bibirnya dari bibirku lalu tersenyum lagi.

“Mau sarapan apa?”, tanyanya masih dengan memandangku mesra.

“Scrambled egg with cheese”, jawabku.

Ia tertawa lalu bangkit dari kasur dan berjalan menuju dapur. Apartemenku tak terlalu besar, jadi aku masih bisa mendengarnya berjalan ke dapur. Aku memutuskan untuk mengikutinya dan duduk di kursi dapur sambil memperhatikannya menyeduh segelas kopi untukku.

“Here you are, tampan”, ucapnya sambil menyodorkan segelas kopi yang mengepul. Aku tertawa.

“Terima kasih”, balasku.

Ia tersenyum, lalu mengambil frying pan dari rak dan meletakkannya di atas kompor. Ia lalu menghidupkan kompor dan mengambil mentega dari lemari kecil yang berisi stok bumbu masakan yang selalu ia beli di hari Sabtu.

Kemudian ia memanaskan mentega dan mengikat rambut sepunggungnya itu. Katanya, model ikatan rambutnya itu namanya cepol, tapi mau dicepol atau diapakan saja menurutku ia tetap cantik seperti biasanya. Meski dari belakang. Jadi, ia mencepol rambutnya dan memperlihatkan tengkuknya yang seksi itu sambil memasak telur.

Aku memperhatikan tubuhnya yang masih berbalut kemejaku. Ia tak mengenakan celana, jadi disajikannya kaki jenjang mulusnya. Paha yang panjang dan betis yang indah. Menggiurkan mata setiap laki-laki. Aku menggeleng lalu tertawa kecil. Sungguh aku laki-laki beruntung yang dicintai perempuan secantik, seseksi, dan sepandai Nessa.

“Ada yang lucu?”, tanyanya tiba-tiba.

Aku menatapnya. Lalu menggeleng.

“Ini pesananmu”, ujarnya sambil meletakkan sepiring scrambled egg yang dicampur keju ke hadapanku.

Ia sendiri kemudian menyiapkan sepiring scrambled egg yang lain untuk sarapannya.

Kami sudah melakukan sarapan bersama seperti ini selama 2 tahun. Genap dua tahun hari ini. Semenjak resmi berpacaran dengan Nessa, ia selalu menginap di apartemenku kecuali jika ia harus lembur dan tak mau menggangguku yang sedang tidur. Beberapa bulan setelah kami resmi berpacaran, aku sudah membujuknya untuk pindah saja ke apartemenku, namun ia selalu menolak. Ia bersikeras tetap tinggal di apartemennya meski ia jarang tidur di sana.

Jadi aku tak memaksa, sebab Nessa sama sekali tak suka dipaksa. Toh ia lebih banyak menghabiskan waktunya di apartemenku.

Aku sudah menghabiskan sarapanku saat Nessa mengambilkanku air putih untuk kuminum. Ia kemudian mencuci piring dan aku memperhatikan kakinya lagi.

“Stop it!”, katanya sambil mencuci.

“What?”, tanyaku.

“Stop staring at me like I am a naked dancer”, gerutunya tanpa membalikkan badan.

Aku tertawa. Lalu berjalan mendekatinya.

Aku memeluknya dari belakang, mengecup tengkuknya.

“You’re so sexy. I can’t help it”, bisikku sambil meraba perut dan naik ke atas.

Tiba-tiba Nessa membalikkan badannya.

“Stop it, Den”, katanya sambil menatapku galak.

Aku tertawa lalu mencium bibirnya sambil menelusupkan tanganku ke dalam kemeja yang dikenakannya dan mengelus punggungnya. Saat aku berhenti dan hendak sibuk dengan kaitan branya, ia mendorongku.

“I said, stop it!”, katanya sambil tertawa lalu melepaskan diri dari pelukanku.

Ia menuju ke kamar mandi, membasuh wajahnya dan menyikat gigi. Lalu ia mengganti pakaiannya dengan setelan kerja.

Aku duduk di kasur, memperhatikannya yang sibuk mengenakan baju.

“Damn it! You’re so sexy, Ness”, pujiku.

“I am”, balasnya sambil meratakan lisptik di bibirnya.

Aku meraba saku celanaku. Lalu dadaku berdebar-debar.

“Ness..”

“Hm?”

“Ke sini sebentar. Ada yang mau aku bicarakan”, pintaku.

“No. Aku udah hampir telat, Den”, tolaknya sambil sibuk menata rambutnya.

“Sebentar saja..”, pintaku lagi.

Ia menggeleng.

“Ness..”

“Okay okay. One kiss ya”, katanya lalu berjalan menujuku dan mendudukiku. Ia kemudian mengecup bibirku lembut, dan aku membalasnya.

“Whoa.. Whoa.. Diam saja, Den. Let me kiss you. Aku ga mau kamu ngerusak lipstikku”, katanya sambil tersenyum.

Aku tertawa.

“Kau menyebalkan”, bisikku sebelum aku memasrahkan diri dan ia melumat bibirku lagi.

Aku merogoh saku celanaku dan mengeluarkan kotak kecil beludru.

“Ness..”

“Hm?”

“Marry me?”, ucapku sambil memperlihatkan isi kotak kecil itu di hadapannya.

Nessa tampak terkejut dan ia tak berhenti melihat cincin emas di kotak yang aku pegang. Kemudian ia menatapku, aku tak tahu harus mengartikan tatapannya sebagai apa. Terkejutkah? Bahagia? Atau perasaan yang lainnya. Yang jelas dadaku berdebar tak karuan.

“It’s been 2 years now. I wanna marry you and spending the rest of my life loving and being loved by you. Will you?”, bisikku.

Nessa tampaknya telah berhasil menenangkan dirinya. Ia bangkit dari pangkuanku lalu duduk di kursi tempat ia merias wajahnya tadi.

“Den, I have a story that I never told you”, katanya.

Aku mengerutkan kening.

“Dulu, Den. Dua tahun lalu, suatu malam, hari Rabu. Aku masih ingat betul harinya dan saat itu pukul 3 dini hari, seseorang mengetuk pintu apartemenku. Aku benar-benar lelah karena harus begadang mengerjakan proyek kantor dan tertidur di meja kerjaku. Yang aku ingat, aku baru tertidur pukul setengah 2 dan pukul 3, aku dipaksa bangun oleh seseorang yang mengetuk pintu apartemenku dengan ketukan keras tak beraturan yang sangat menyebalkan”, Nessa bercerita.

Aku memilih mendengarkan walaupun aku tak tahu akan kemana arah ceritanya ini.

“Kau tahu, Den? Waktu itu rasanya aku ingin sekali menyiram orang yang mengetuk pintuku itu dengan air panas namun saat aku membuka pintu, aku menemukan seorang perempuan yang tubuhnya terbalut gaun putih pernikahan. Make up di wajahnya sudah tak karuan. Eye linernya luntur membentuk garis hitam di pipinya. Aku terkejut sekali, Den. Untuk sesaat kupikir ia adalah hantu semacam kuntilanak atau apa..”, lanjutnya.

“Lalu?”, tanyaku penasaran.

“Lalu aku mempersilakannya masuk dan mendengarkan ceritanya. Ia menangis karena calon suaminya meninggalkannya tepat di hari pernikahannya. Bukan, Den.. Bukan meninggal. Calon suaminya itu benar-benar meninggalkannya. Ia tak datang saat pernikahan. Saat si perempuan dengan cemas menunggunya padahal ia sudah begitu cantik dan dengan para tamu undangan yang sudah mulai menggerutu karena si pengantin laki-laki terlambat hampir satu jam”, ujar Nessa penuh emosi.

“Ness..”, aku bangkit dari kasur. Hendak mendekapnya.

“Stop! Duduk saja di sana, Den”, pintanya.

Aku mengalah. Lalu duduk kembali di kasur dan memperhatikannya.

“Perempuan itu menangis hingga pagi. Aku membantunya melepaskan gaunnya dan membersihkan make upnya. Ia malu pun kecewa. Ia terluka. Pukul 11 pagi, ia baru tertidur di kasurku. Kelelahan karena menangis semalaman”, lanjutnya.

“Ness, aku mencintaimu. Aku tak akan meninggalkanmu seperti laki-laki itu. Aku benar-benar mencintaimu. Tenanglah, Ness..”, bisikku pelan. Menenangkannya. Sungguh aku ingin merengkuhnya dan mendekapnya di dadaku.

Nessa tersenyum samar. Ia mengangguk.

“Aku tahu..”, ucapnya.

“Aku tahu kau begitu mencintaiku, Den”, balasnya sambil tersenyum.

Aku menghela napas. Lega.

Nessa bangkit, meraih jas kerja dan tasnya lalu mengenakan sepatunya.

“Sejak kedatangannya malam itu, aku berencana untuk mencari laki-laki yang menyakitinya. Perempuan itu sepupuku, Den. Namanya Namira Aulya. Mungkin kau kenal?”, tanyanya sambil menatapku tajam.

Seperti disiram air es, dadaku menggigil. Aku diam. Terlalu terkejut untuk menjawab pertanyaannya.

“Kau pergi ke mana dua tahun lalu, saat ia begitu sabar menunggumu sebagai pengantin laki-lakinya?”

kutipan: aratiararismala

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wong Jawa Nggone Semu, Sinamun ing Samudana, Sesadone Ingadu Manis

Rectoverso (Quote)

Nidji - Jangan Lupakan