31 Desember 2015

Pap, bagaimana kabarmu?
Dulu, dulu sekali .. kita sangat jarang bertemu.
Pagi, ketika ku hendak pergi sekolah, kau masih saja tertidur dikasurmu.
Siang, ketika ku pulang sekolah, kau masih sibuk dengan pekerjaanmu.
Petang, disaat aku ingin bercengkrama denganmu, kau nampak kelelahan selepas seharian bekerja mencari nafkah.
Bahkan saat malam, tak jarang kau harus keluar untuk menyelesaikan pekerjaanmu.
Tapi aku tak pernah mengeluh, Pap.
Walaupun sebenarnya aku ingin sekali menghabiskan waktu-waktuku bersamamu.
Mamah selalu bilang kepadaku, "walaupun begitu, papap sayang kepada kita". Aku percaya itu, Pap.

Aku tak pernah merasa kesepian, karena ada Mamah yang selalu menemaniku, juga kedua kakakku yang selalu menjagaku, menggantikanmu saat kau tak ada didekatku.

Selepas kepergian Mamah, kurasakan berbeda pada dirimu.
Kau bukanlah Papap yang kukenal dulu.
Bukan, aku bukan membencimu.
Justru aku mencintaimu lebih dari sebelumnya.
Yang kurasakan saat ini, kau lebih memperhatikannku sekarang.
Waktu-waktumu lebih banyak kau habiskan denganku, dengan anak perempuanmu satu-satunya ini.
Aku ingat, kau sempat berkata padaku, bahwa hanya aku anakmu yang benar-benar mirip dengan Mamah. Melihatku, seolah kau sedang melihat mamah.
Aku tahu, Pap. Aku tahu seberapa besar cinta Papap kepada mamah.
Kita bahkan lebih sering berbincang disela-sela hari menjenuhkan kita.
Bernostalgia mengenang mamah.

Sempat beberapa kali aku menemui kau sedang menangis saat kita mengenang Mamah.
Aku bisa merasakan rindu Papap kepada Mamah, meski terkadang kau tak ingin aku mengetahui itu.

Beberapa waktu lalu...
Aku masih bermalas-malasan, bermanja-manja kepadamu.
Tapi sekarang, sungguh tak terasa.

Setahun berlalu..
Aku berada jauh darimu..
Meski setiap akhir pekan aku pulang menemuimu..
Rasanya sungguh berbeda.

Dipenghujung petang seperti ini, setelah seharian beraktifitas.
Saat aku merasakan tetes demi tetes keringat yang mengalir didahi, melalui leher, dan disekujur tubuhku.
Aku teringat pada dirimu.
Aku menyadari pengorbananmu, keringat yang kau keluarkan, seberapa besar usahamu untuk menghidupi kami.
Sungguh apa yang telah kuberikan padamu masih tak ternilai apa-apa bila dibandingkan dengan apa yang telah kau beri untuk kami.
Pap, ampuni anakmu ini.

Sekarang, menjelang 20 tahun usiaku. Masih belum bisa membahagiakanmu.
Bahkan tak jarang aku mengabaikan dirimu, mengabaikan waktu makanmu, mengabaikan hari-hari senjamu, yang harusnya kini kau nikmati, tapi masih saja kau disibukkan dengan memikirkan kami anak-anakmu.
Ampuni aku, Pap

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wong Jawa Nggone Semu, Sinamun ing Samudana, Sesadone Ingadu Manis

Rectoverso (Quote)

Nidji - Jangan Lupakan