Bukan Surat Terakhir

Selamat pagi,

Lagi, aku menulis surat untukmu. Surat kesekian yang tak pernah disampaikan tukang pos.
Mungkin kau tidak pernah sekalipun membacanya. Tak mengapa, aku hanya ingin menuliskannya saja.
Karena ketidakmampuanku berbicara secara langsung, ketidakberdayaanku untuk bertemu secara tatapmuka, hanya ini yang bisa kulakukan.

Ada rasa yang berbeda setiap kali aku menuliskan surat-surat ini.
Aku seperti masih bisa melihatmu, aku seperti masih bisa berbicara denganmu. Aku seperti berada didekatmu.
Itu yang membuatku gemar menulis surat untukmu.

Do'aku kepada Tuhan masih tetap sama.
Aku masih berharap bisa kembali ke kotamu itu. Menemuimu, atau sekedar melepas rindu menatap bangunan dan jalanan yang entah sudah jauh berbeda atau masih tetap sama seperti empat tahun silam. Ya, empat tahun.

Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu, mas.
Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi padaku satu detik kedepan-pun.
Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi tanpa direncanakan.
Aku tahu, aku bisa meminimalisir kemungkinan-kemungkinan buruk itu, atau bisa saja menghilangkannya jika aku berwaspada.
Tapi bagaimana jika hal buruk itu adalah salahsatu bagian yang Tuhan rencanakan?
tentu aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Suratku kali ini terdengar seperti surat terakhir. Tidak, semoga ini bukan surat terakhir yang aku tuliskan disini.
Aku hanya takut, jika ini benar menjadi surat terakhirku.
Aku belum bisa menemuimu, aku belum sempat menyampaikannya padamu.
Tentang perasaan itu.

Baiklah, abaikan perasaanku.
Kau sudah tak ingin lagi membahas hal itu.

Aku tahu, jika sesuatu terjadi padaku, hingga aku tak lagi menulis surat untukmu. Apa kau akan mencariku?
Apa kau akan menghubungiku?

Aku sudah tak menemuimu diberbagai sosial media. Aku kesulitan untuk mencari tahu kabarmu sekarang.
Satu-satunya yang bisa membawaku padamu, hanyalah selembar kertas alamat rumahmu yang pernah kau berikan dulu.
Hanya itu.
Aku merindukanmu.

Mas, aku menunggu kau membaca ini dan segera menghubungiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wong Jawa Nggone Semu, Sinamun ing Samudana, Sesadone Ingadu Manis

Rectoverso (Quote)

Nidji - Jangan Lupakan