Hanya Sebuah Dongeng

Bunga Lembah meliuk gemulai dibelai helaan sang angin. Hijau daunnya merepih-repih pada nyanyi pagi dari reranting pepohonan. Sudah lama sang bunga merindukan kesejukan itu, kesejukan yang mampu mendamaikan kehampaan jiwanya. Bunga Lembah diantara cadas nyaris tak dapat tersentuh kecuali oleh sang angin. Bunga Lembah tumbuh segar dan menakjubkan diantara bunga yang lain dipucuk jurang. Daunnya bersinar kehijauan ditempa kemilau cahaya bintang raksasa. Kelopak bunganya mungil kecil berwarna merah kehitaman, seolah menunjukkan semua keberanian dan ketegaran. Menyimpan seribu misteri yang melingkupi. Menampakkan senyumnya kepada dunia tak nyata.

“Wahai Puteri…adakah engkau sempat bertemu dengan pangeran khayalanku…Angin Lembahku…adakah ia nun jauh disana?” suatu masa Bunga berbincang pada sahabatnya, sang Puteri Rimba. Puteri Rimba menyibakkan selendang sutra putihnya, sejenak kemudian gemerlap gemintang selendang itu berterbangan di udara.

“Andai aku bisa memohon pada khayangan untuk mengabulkan keinginanmu…aku akan bersujud untuk memintanya demi dirimu, wahai sahabatku…” sang Puteri duduk di tepi sang Bunga. Sang Bunga tersenyum haru, tiada sahabat seindah dan semengerti sang Puteri.

“Terimakasih Puteri…. Aku hanya selalu merasakan kesejukan saat ia hadir…. Aku yakin dia selalu ada…. Aku yakin dia menyapaku setiap pagi, setiap hari…” sang Bunga menunduk, sunyi dalam doa.

“Aku harap suatu hari ia turun dan menemanimu, Bunga…” sang Puteri membelai kelopak bunga, sang Bunga pun tersenyum layu. Puteri Rimba pun menatap angkasa, mengharapkan sesuatu yang sudah lama dinantikannya. Sesuatu yang amat berharga…

…..♥…..♥……♥…..

“Aku tidak bisa menemanimu…aku tidak bisa…” gema itu menyadarkan bunga dari lelapnya pekat malam. Sang Bunga merintih pelan, keluhannya ditelan angin yang kemudian berhembus di sekitarnya.

“Aku tahu kau ada…temanilah aku wahai angin…. Angin Lembahku” sang Bunga menangis penuh kehampaan dan kerinduan yang mendalam menyesak menyeruak. Embun dahannya menitis meresapi batu yang ikut merasakan kepedihannya yang begitu menyayat…

…..♥…..♥……♥…..

“Mengapa engkau pergi mengembara jauh dan lama sekali wahai Elang…kemana saja engkau…aku merindukanmu…” Bunga menatap Elang rimba yang tampak kelelahan. Elang bergumam pelan.

“Aku pergi untuk menemukan dunia yang ku impikan…tapi aku tidak pernah menemukannya…aku lelah mengitari cakrawala…. Aku juga mencari sahabatku yang merana entah dimana…aku tetap kehilangannya…” sang Bunga merasakan desiran kesedihan yang sangat dari dalam jiwa Elang. Elang Rimba menutup matanya dan Bunga Lembah kembali meneteskan embun dari kelopaknya.

“Persahabatan kita yang indah…akankah tetap kita miliki?” Elang menatap Bunga haru, “Aku mengagumimu, wahai Bunga…”

“Aku juga begitu mengagumimu, mencintaimu, dan menyayangimu, Elang Rimba, sahabatku…” sang Bunga tersenyum.

“Maafkan aku…aku harus pergi…”

“Mengapa engkau harus pergi…apakah engkau tidak pernah merasa jika dunia yang kau impikan berada disini, Elang…?”

“Ya…dan memang semua itu hanya mimpi, Bunga…. Disini hanya sebuah impian…aku tidak ingin menuai luka disini…. Aku ingin pergi…” sang Bunga menatap Elang dengan sebuah pengharapan.

“Tapi…sahabatmu disini…ia disini…”

“Tidak! Dia telah melupakan aku…dia tidak disini, dia ada di negeri khayalan…negeri khayalanmu…” sang Elang telah melontarkan kebenaran yang menyakiti Bunga.

“Ia ada disini…ia ada disini…” Bunga Lembah terisak-isak.

“Dia ada di langit khayangan dan melupakan kita…” Elang tertawa sinis membuat Bunga semakin teriris…

“Ia tidak melupakan kita Elang…” rintih Bunga.

“Sadarlah wahai Bunga, sahabatku…dia tidak akan pernah bisa turun menemui kita…”

“Puteri bisa…Puteri bisa…” sanggah Bunga, sang Elang terkejut.

“Puteri…?!!”

“Mengapa ia tidak bisa?”

“Aku harus pergi, Bunga…”

“Jangan pergi Elang, aku membutuhkanmu…” mohon Bunga, daunnya melayu menampakkan kelemahan, derita, dan kesedihannya.

…..♥…..♥……♥…..

Dulu…keindahan lembah bagai rinai pelangi di setiap hari. Bunga Lembah bahagia diantara persahabatan indahnya. Angin Lembah menyapanya setiap hari. Angin Lembah pujaannya yang selalu dapat menyejukkan relung-relung daunnya, mampu memberikan kedamaian di setiap serat tubuh sang Bunga. Membahagiakan kehidupan sang Bunga. Puteri Rimba melantunkan melodi-melodi suci untuk menghibur Bunga, menemaninya sepanjang waktu. Puteri Rimba menari dengan gemintang selendangnya sambil tertawa di udara. Elang Rimba selalu membawakan sekeranjang perhatian, senyuman dan gurauan. Sesaat kemudian Elang Rimba dan Puteri Rimba akan terbang bersama lalu menari indah di angkasa raya. Elang Rimba mengepakkan sayap coklat kehitamannya, sang Puteri Rimba melambaikan selendang putihnya. Puteri Rimba akan berkejaran dengan Elang Rimba. Angin Lembah akan setia duduk menemani Bunga Lembah yang bahagia menatap langit berwarna cerah ceria.

“Mengapa engkau tidak ikut terbang wahai Angin…?” tanya Bunga.

“Aku akan tetap disini menemanimu…” Angin mendesau di telinga Bunga. Bunga Lembah sangat bahagia mendengarnya.

Entah sejak kapan kebahagiaan itu perlahan pudar. Ketika cahaya bulan terasa mulai redup walau sedang purnama, dikala bintang tak lagi berkelip berjuta, saat mentari pun sering terlupa untuk muncul menyirami pagi…. Bunga lembah bagai kehilangan separuh raga. Yang dirasa bukanlah kesejukan tapi kedinginan, yang terasa bukanlah kedamaian tapi kebekuan. Menatap angkasa yang kosong…yang penuh kabut pekat menutupi pandang mata. Semua membuat Bunga tersayat. Bunga mulai menyadari saat Puteri tak ramah lagi, tak pernah mengunjunginya lagi. Tiada selaksa angin yang menyapanya. Tiada kepakan sayap Elang Rimba yang gagah. Semua tiada lagi saat Bunga menyadari semua telah berubah…semua telah menghilang walau semua sebenarnya masih ada…. Masih ada untuknya.

…..♥…..♥……♥…..

“Adakah Elang Rimba mengingat aku…” bisik Puteri Rimba kepada dirinya sendiri tetapi Bunga Lembah terlanjur mendengar.

“Dia selalu mengingatmu Puteri…”

“Aku tidak bisa menemuimu lama-lama, Bunga…”

“Mengapa begitu?”…. Puteri Rimba hanya tercenung.

“Sampaikanlah rindu suciku untuk Elang Rimba…” Puteri Rimba kembali tertegun.

“Jika ia menemuiku lagi Puteri…dan andai aku bisa memberitahumu…” Bunga Lembah bagai membeku mengucapkan kata itu. Puteri Rimba mengatakan sesuatu lewat hatinya…

“Andai engkau mengerti Bunga…aku ingin membawamu ke khayangan dan meletakkanmu di pintu gerbang, sebagai perlambang bahwa aku sangat menyayangimu…anadai aku bisa Bunga…andai aku bisa…”

Puteri Rimba melesat pergi…

“Sampai jumpa Puteri…”

…..♥…..♥……♥…..

Bunga Lembah bertahan denagn segenap kekuatannya. Tiada lagi yang mengunjunginya kini. Kehampaan merasuki luka yang menganga. Teman yang dinantikan tiada kunjung tiba, Elang Rimba pergi entah kemana, tiada lagi senyum Puteri yang menghadirinya, tiada desau Angin yang membelainya. Kini semua benar-benar hilang dan tiada…. Tiada.

“Adakah penjelasan dari ini semua wahai alam…?” Bunga merintih dalam kesunyian, menatap nanar kepekatan malam.

“Mengapa sahabatku menjauh…” sang Bunga mengadu. Isakannya terdengar ke seluruh penjuru mata angin…

“Berilah aku alasan…berilah aku jawaban…. Kurindukan Angin, kurindukan Elang, kurindukan…Puteri…. Wahai…siapalah, bicaralah padaku…bicaralah padaku…” Bunga berteriak, berteriak dan berteriak…. Suaranya hampir hilang…

…..♥…..♥……♥…..

Satu dasawarsa hampir punah.

“Tidakkah engkau pernah tahu wahai Bunga Lembah…” Bunga Lembah tersentak. Kedinginan semasa sekian lama terasa semakin menusuk.

“Aku adalah malam…. Malam Dingin…” suara itu menggugah Bunga.

“Malam…dimana kau malam…mengapa engkau baru berbicara padaku?”

“Aku tidak tahan mendengar rintihanmu Bunga…aku sungguh tidak tahan…” malam menjawab dengan dingin dan beku, sedingin dan sebeku dirinya sendiri.

“Aku butuh teman, Malam…aku butuh dirimu…”

“Aku hanya ingin menyampaikan kebenaran…kebenaran yang akan membuatmu diam dan menerima semuanya…” ucap Malam Dingin.

“Mengapa engkau berkata seperti itu…apakah engkau tidak ingin bersahabat denganku…?”

“Aku lebih suka kesendirian, aku lebih suka hening, dan aku akan mengajarimu betapa keheningan itu menyenangkan…”

“Tidak…aku tidak mau…pergilah Malam, pergi…”

“Dengarkan aku!!! Terimalah kebenaran, terimalah kenyataan, terimalah takdir bahwa kau memang harus sendiri…” Malam berucap tegas membuat tubuh Bunga gemetaran melawan hawa dingin merasuk sukmanya.

“Angin Lembah tidak akan menjumpaimu lagi, sadarlah itu! Begitu juga dengan Puteri Rimba…. Tahukah engkau wahai Bunga?! Mereka adalah penghuni khayangan…. Penghuni khayangan yang sempat turun ke bumi karena terpesona keindahan dunia…. Mereka tidak pernah puas atas apa yang mereka dapatkan di nirwana…”

“Mereka tidak begitu…mereka sahabatku…”

“Aku tahu!!! Elang Rimba telah lama mengetahui rahasia ini tapi demi perasaan rapuhmu, Bunga…ia tidak pernah menceritakan ini semua padamu, sehingga akhirnya dia memutuskan pergi dengan membawa sebuah kenangan…”

“Elang Rimba mencintai Puteri Rimba…aku tahu itu…aku tahu keduanya saling mencintai, aku tahu…” sang Bunga tersayat isak.

“Dan kau mencintai Angin Lembah bukan…?! Sayangnya dia tidak mencintaimu sebesar kau mencintainya…itu sama saja artinya dia tidak mencintaimu…” kata-kata Malam Dingin menikam tepat di jantung hati Bunga. Bunga Lembah tak mampu lagi berucap sebuah kata.

“Angin Lembah adalah punggawa penjaga gerbang nirwana suci…dan Puteri Rimba adalah penjaga taman bunga khayangan di depan pintu gerbang…. Mereka selalu bekerjasama agar Puteri Rimba dapat turun ke bumi untuk beberapa waktu…. Ya, begitulah, engkau tidak akan pernah tahu jika perilaku itu diketahui Mahadewa Khayangan maka sang Puteri akan musnah…. Betapa besar cintanya padamu dan Elang Rimba sehingga ia rela turun ke bumi demi untuk melihatmu dan walaupun tidak pernah sekalipun lagi bertemu dengan Elang Rimba…” Bunga Lembah terdiam. Ikut membeku sebeku ucapan Malam.

“Elang Rimba mungkin akan menemuimu suatu hari nanti…. Entah kapan. Tapi, tidak akan pernah lagi bagi Puteri Rimba dan juga Angin Lembah…. Tiada lagi keleluasaan karena mereka tidak lagi menjaga taman dan penjaga gerbang…mereka telah menjadi prajurit Mahadewa di dalam nirwana. Itu artinya mereka tidak akan pernah dapat lagi keluar menemuimu…. Karena jika itu meeka lakukan…mereka akan melebur dan lenyap selama-lamanya…”

“Tidak mungkin…” bisik Bunga dalam hati di puncak kesedihannya. Tiada lagi satu patah kata pun dapat keluar dari nuraninya.

“Satu hal yang selama ini tidak pernah kau tahu…kau selalu mengira mereka hidup di bumi seperti dirimu…. Kau mengira Angin Lembah adalah udara bagi kehidupanmu…dan Puteri Rimba adalah penjaga belantara di sekitarmu dan engkau mengira dia adalah sahabat abadi bagimu…”

“Sekarang engkau harus tahu…bahwa anggapanmu memang pernah salah, Bunga…tapi engkau dan mereka terletak di dua maya yang berbeda…. Tahukah engkau, Puteri Rimba dan Angin Lembah sering menatapmu dari kejauhan diatas sana…”

“Inilah takdirmu, terimalah. Aku sudah menyelesaikan tugasku, maka…aku pun tidak akan mampu berbicara lagi kepada siapapun…” Malam Dingin mendesau berlalu tanpa memberikan kesempatan Bunga Lembah untuk mengucapakan salam perpisahan…

Bunga Lembah membisu. Ia ingin berteriak untuk satu dasawarsa yang meluruhkan segala ketegaran…. Ia ingin berteriak untuk embun yang tak dapat lagi terpercik sejak masa bagai mencerabut nyawa. Ia ingin berteriak untuk penantian berujung kemarau yang mengeringkan dedaunan. Ia ingin berteriak untuk ranah yang kini retak sekeliling. Ia ingin berteriak mengadukan kekecewaannya tapi…tak mampu lagi sang Bunga Lembah bersuara. Tak mampu lagi…hingga detik ini.

-selesai-


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wong Jawa Nggone Semu, Sinamun ing Samudana, Sesadone Ingadu Manis

Rectoverso (Quote)

Nidji - Jangan Lupakan